Selasa, 24 Mei 2016

Namanya Nur Fachrina

hari itu 27 Juli 2002 di kota Medan, tepatnya saat itu umurku masih delapan tahun, duduk di bangku kelas dua SD. Pada pagi hari itu tak seperti biasanya, saat bersiap berangkat sekolah aku tak meliahat bunda menyiapkan sarapan di meja makan, di sana hanya ada nenek angku (kakek dalam bhs.padang) duduk menunggu kami cucu cucu nya berkemas.
 Sudah hampir dua bulan aku abang dan bunda tinggal di rumah nenek, tepatnya di SM.Raja. kami harus menetap karena kondisi bunda saat itu sedang mengandung adik pertamaku. Delapan tahun sudah aku sendiri, tentu saja di antara cucu nenek aku adalah satu satunya perempuan yang selalu di ajarkan nenek tata krama, tidak boleh duduk sembarangan, makan menggunakan sendok, dan selalu memakai baju kembang dengan rok di bawahnya. Nenek adalah anak perempuan dari turunan keluarga terpandang pada masa kolonial dulu, keluarganya mempunyai beberapa bidang tanah dan kebun yang luas di daerah Sumatra Barat. Begitu juga angku, dia adalah salah satu keluarga yang cukup terpandang, ayah dan kakeknya adalah komandan perang saat masa penjajahan, angku pernah cerita kalau dia pernah menggunakan senjata perang ayahnya untuk mengambil buah dari kebon seorang saudagar kaya pada saat itu. Mungkin kalian bisa membayangkan betapa mewahnya kehidupanku saat itu. hampir setiap minggu nenek menjahitkan ku baju yang motifnya sama seperti punya nenek.
  Setelah selesai sarapan pagi, kami berangkat sekolah di antar ayah naik sepeda motor, aku duduk di depan abang di belakang, di perjalalnan kami bercerita, tentang apa saja. Aku memiliki seorang abang, dia adalah abang pertama ku, anak pertama ayah bunda, dan cucu pertama pula di keluarga, dia adalah orang yang cerdas, bertanggung jawab tinggi, dan sangat di siplin. Setiap hari di sekolah abang selalu mengawasiku, mengantarkanku ke kelas, membawakan tasku dan dia selalu melindungiku dari anak laki laki yang mengganggu dan memegang kuciran rambut ku.
  Siang itu sepulang sekolah, aku tak mendapati bunda di rumah, di kamar tidur maupun di rumah tetangga, aku bingung sejadinya sampai aku meliahat nenek datang turun dari becak, melihatku setengah beranakan dan masih mengenakan seragam sekolah. "udah pulang nek, kok belum ganti baju ? " sambil menghampiriku, nenek mengambil tas dan mengajak ku masuk. setelah makan siang aku dan abang mengerjakan tugas rumah. tak lama telfon pun berbunyi segera nenek mengangkat telfon, dengan nada sedikit berbisik nenek menutup telfon itu dan menyuruh kami bersiap karena bunda di rawat di sebuah klinik milik saudara kami.
 Pantas dari pagi tadi, dan siang ini suasana rumah sedikit tegang. bunda di bawa ke klinik karena memang sudah harus melahirkan. Sampai di sana aku mendapati ayah dan bunda di dalam sebuah kamar yang kecil, bunda di infus dan terbaring lemah, aku tidak mengerti pembicaraan orang orang dewasa saat itu, yang aku lihat abang hanya di sampingku berdiri mematung melihat kondisi bunda.
hari sudah sore., nenek mengajak kami pulang untuk mandi dan makan malam, hampir aku menolak karena saat itu nenek menggunakan mantara ajaibnya "anak perempuan jelek kalau tak mandi" melangkah gontai nenek menarik lembut kami naik ke becak. Aku hanya bertanya apa yang ku lihat "bunda kenapa?" "bunda nanti pulang?" "bunda sakit apa?" dan nenek pun hanya menjawab dengan bahasa yang selalu membuat ku tenang "Ndak apa apa nek" sebutan sayang nenek ke semua cucunya, aku adalah cucu ke dua dari empat saudaraku yang lain saat itu, dan aku satu satunya perempuan.
 Sampai di rumah nenek memandikan kami, memakaikan baju rapi dan wangi bagaikan boneka baru, nenek selalu memperhatikan cucunya terkhusus aku yang hampir sebulan di perlakukan bak putri di kerajaan. saat makan sore angku pamit untuk melihat kondisi bunda di klinik. Pukul empat sore, yang ku ingat saat itu raut muka nenek saat selesai sholat tak lagi tenang seperti biasa, nenek menelfon semua anak anaknya untuk menjaga kami di rumah. nenek yang saat itu duduk di sebelah meja telepon sambil menonton TV pun tak bisa diam. Tak lama pintu pagar terdengar terbuka, saat itu yang datang adik bunda yang paling kecil masuk dan menghampiri nenek, segera nenek minta di panggilkan becak untuk pergi ke klinik, kami merengek minta ikut dan hanya abang yang di ajak, aku cuma menangis di gendongan om saat itu. Sesungguhnya aku tak siap untuk hari itu, aku memang menginginkan seorang adik, tapi aku tak pernah mengharapkan suasana setegang ini.
   om mengajakku bermain dengan mainan yang ada, memutarkan beberapa film anak, tapi aku tetap mengis di pangkuan om. Lima belas menit sebelum azan maghrib kami mendengar suara becak, bergegas aku lari kedepan mendapatkan nenek angku dan abang turun, di belakangnya tidak ada lagi yang ikut, "bunda?" tanyaku "masih di klinik nek ani sama ayah, kita maghrib dulu ya..." ajak nenek. aku tak menghiraukan abang dan om yang bercengkrama di atas sofa menceritakan yang hanya mereka yang tahu. Saat solat berjamaah telepon di ruang tengah berdering seketika nenek yang di sebelahku bergegas lari meninggalkan sholat, aku pun juga tak berkonsentrasi saat itu, "ALHAMDULILLAH!!!" terdengar seru suara nenek dari ruang tengah, nenek langsung kembali kekamar berlari sambil sujud syukur, mengulang kembali sholatnya setelah selesai nenek mengajak kami ke klinik, nenek memeluk ku dan menciumku bahagia, aku yang masih bingung hanya bisa menangis kecil melihat nenek meneteskan air mata. Sampai di klinik, nek Ani (nenek ku juga pemilik klinik itu) mengantarku dan abang masuk ke sebuah ruangan yang di dalamnya ada sebuah kotak kaca mirip aquarium. abang jinjit untuk melihat isinya, aku yang masih sangat kecil di gendong om, "itu adek kak dila" ucap om senang. Aku melihat manusia yang lebih mungil dari tubuhku, warna kulitnya merah muda segar, mata segaris dan berambut hitam jigrak. "siapa namanya kak?"tanya om lagi, aku hanya diam saat nenek masuk dan mengambil bayi mungi itu, seketika kecewa dan sedih sehari itu hilang saat melihat bunda duduk dan makan.
  besok pagi nya bunda pulang aku sengaja minta sama nenek agar kami tidak masuk sekolah, karena hari itu hari sabtu, nenek pun mengizinkan nya. "adek nya di jaga ya kak" pesan nek ani sebelum kami pulang, di jalan aku hanya melihat bayi yang di gendong nenek. Sampai di rumah bayi itu langsung di letakkan nenek di ayunan, tak lama setelah itu bayi itu langsung menangis sejadi jadinya, "tolong di ayun kak" perintah om, segera abang langsung berdiri di sampingku membantuku mengayun ayunan bayi itu, dia pun tertidur lelap "adeknya bobok kak ?!" tanya om "tidur om" jelasku. dalam wajah yang tertidur itu aku melihat senyum manis yang menimbulkan rasa sayang dari hati ku.
Tiga hari sudah bayi itu masih belum memiliki nama panggilan yang pasti, sampai saat malam itu angku pulang dari masjid dan berdiskusi ke ayah dan bunda, nama bayi itu Nur Fachrina. sekilas aku seperti melihat diriku di dalam ayunan itu, aku membelai pipi halusnya, "Nda.. kepalanya lembek" seru abang senang membuat tawaku pecah. "Nur Fachrina".
sekarang hari hari ku sudah lebih berwarna, semenjak Fachrina lahir, rumah seakan tak pernah tidur, tangisannya memenuhi isi rumah. Sebulan sudah aku melihat perkembangan tumbuh Fachrina, menidurkannya di ayunan, mengganggunya saat sedang menyusu, membantu bunda memandikannya, memakaikannya baju, memberi bedak, dan mengajaknya bercerita.
  Sekarang usianya sudah 14 tahun, Fachrina sudah duduk SMP kelas 2, banyak cerita yang kami ciptakan, banyak pertengkaran kecil yang terjadi setiap hari, menginjak usia Akhil Balikh Fachrina mulai bisa menyanyikan beberapa lagu cinta, terlebih saat aku tahu kalau dia sedang dekat dengan teman lelakinya, beberapa pertanyaan yang membingungkanku saat dia minta pendapat ku tentang tugas sekolah, pertemanan, dan juga perasaan labilnya. setiap kali tidur malam aku melihatnya seperti baru pertama kali, aku sering tersenyum, mengingat beberapa cerita kami. yang dia memanggil ku  tatak (kakak) dan abam (abang), selalu minta di ikat rambutnya setiap selesai mandi dengan bahasanya sendiri munil (rambut yang di ikat), saat dia pertama kali masuk TK dan takut dengan polisi yang setiap pagi mangkal di depan rumah.
Saat tahun pertama dia belajar puasa harus masuk sekolah TK tujuannya agar dia bisa belajar puasa tapi dia malah bawa air minum, di hari kedua puasa siang itu air botol di kulkas berkurang setengah "siapa yang minum air di botol?!" tanya bunda "bukan ina tok" sahut Fachrina segera, melindungi diri, dan saat saat dia menangis minta segera berbuka melihat adzan Jakarta di TV.
Sebentar lagi tak akan terasa dia akan memasuki masa SMA tak terasa dia adik ku, juga mengajariku banyak hal, dia membuat ku untuk tanggung jawab dan sabar, apa lagi setelah nenek meninggal, aku yang mengambil peran nenek membantu bunda mendidiknya dalam berpakaian dan bersikap di tempat umum.

0 komentar:

Posting Komentar