
Media
massa punya kode etik dan prinsip jurnalistik dalam kerjanya memproduksi
berita, namun meski secara teknis aturan tersebut di patuhi bukan berarti
informasi yang di sajikan media bisa di percaya begitu saja sebab ada strategu
lain yang di lancarkan media untuk menggiring opini pembaca, pendengar atau
pemirsa yakni melalui teknik pembingkaian atau framing. framing adalah cara
media mengemas sebuah informasi atas peristiwa yang terjadi. Framing, tidak
berbohong tapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus, melalui penyelesaian
informasi penonjolan aspek tertentu pemilihan kata, bunyi, atau gambar hingga
meniadakan informasi yang seharusnya di sampaikan. Framing bertujuan membingkai
informasi agar terciptanya citra, kesan atau makna tertentu yang diinginkan
oleh media.
Secara
umum ada beberapa metode framing yang di lakukan oleh media.
1. COVER BOTH SIDES (tapi porsi bicara
tidak berimbang atau tidak tepat)
Media massa punya kode etik atau
kaidah jurnalistik, slah satunya perinsip keseimbangan atau COVER BOTH SIDES, yang artinya bila satu pihak di beri ruang
maka pihak yang lain hrus di beri ruang juga tapi kesempatan itu sendiri tak
harus sama. Bila pembicara di berikan ruang bicara A dalam waktu satu menit,
bukan berarti jatah bicara si B atau si C juga di beri waktu satu menit, yang
penting apakah informasi atau pun pendapat dari oihak sudah cukup di beri ruang
secara proposional dan substansinya sudah tersampaikan.
Meski
cover both sides sudah di terapkan, media terkadang melakukan
framing terhadap salah satu pihak dengan cara mengutip pendapat hanya ala
kadarnya atau sengaja mengutip bagian yang tidak menjawab persoalan, bahkan
mengutip bagian penjelasan yang terlihat konyol, sekedar di jadikan olok olok
agar dia terlihat semakain bersalah.
Secara
formal kode etik memang di taati, tapi isinya di kemas sedemikian rupa umtuk
meninggalkan kesan yang merugikan salah satu pihak.
2. BERITA SESUAI FAKTA, MENGGUNAKAN
SUDUT PANDANG TERTENTU
Ini adalah cara lain media melakukan
framing. Melalui tehnik ini, fakta yang ada di pilih dan di pilah oleh media
untuk membentuk kesan tertentu. Misalnya berita mengenai calon Presiden A yang
menang di TPS yang berada di penjara khusus koruptor atau berita calon presiden
B yang menang di TPS tempat prostitusi, berita tersebut bisa jadi tidak bohong,
tapi media sedang melakukan framing dengan tujuan membentuk presepsi atau kesan
tertentu mengenai seseorang yang sedang di beritakan.
Contoh
framing lain bisa di lihat pada berita tentang demo buruh yang hanya di tulis
mengenai sampah sisa demo atau tuntutan liburan ke Bali sedangkan isi tuntutan
kerap kali tak terliput, lewat berita seperti ini media sedang melakukan
framing bahwa tuntuntan buruh mengada-ada.
3. PENGGUNAKAN KATA SIFAT BERNADA
POSITIV ATAU BERNADA NEGATIV
Media tidak mendeskripsikan sebuah
peristiwa atau perilaku seseorang, tapi menilainya. Penilaian ini di lakuakn
oleh redaksi, bukan mengutip pendapat seseorang. Caranya adlh dengan memakai
kata sifat seperti tegas, ragu-ragu, lembek, jujur dan sebagainya. Misalnya "alih-alih mengatakan walikota X
menolak izin pendirian mall baru"
media malah memberitakan "walikota
X adalah orang yang tegas".
Contoh lain framing dengan
menggunakan kata sifat misalnya, "pejabat
itu jujur, pengusaha itu culas" . Kata sifat tidak memiliki ukuran
yang bisa di terima semua orang, penggunaannya cenderung subyektif dari media
ataupun dari wartawa, idealnya yang di perlukan adalah pembuktian,
mendeskripsinkan kejujuran, atau keculasan seseorang melalui peristiwa yang
ada, testimoni orang, data, atau prestasi kerjanya.
4. MENEYELEKSI GAMBAR DAN
MENYEMATKAN MUSIK
dengan gambar dan musik tertentu,
seseorang bisa terkesan galak, lugu, bodoh, berani, dan sbagainya. Misalnya
dalam sebuah pilkada berita sebuah calon gubernur A selalu ketia ia sedang
bekerja memimpin rapat atau menggendong anak kecil di tambah dengan ilustrasi
musik yang damai, tapi untuk berita mengenai calon gubernur B gambar yang di
pilih adalah ketika ia salah bicara, joget-joget dalam pesta, atau selalu di
atas mobil mewah.
Seperti
contoh sebelumnya, berita ini tidak bohong tapi sedang menyeleksi informasi
untuk membentuk presepsi penonton, pembaca, atau pendengar.
Tayangan
adzan Maghrib di Jakarta yang di tayangkan oleh televisi Jakarta dan di siarkan
ke seluruh Indonesia, tak perduli sudah adzan atau belum di kota kota lain, apakah
umat muslim di bagian Indonesia bagian timur dan bagian tengah tak berhak
mendapatakan layanan yang serupa dari stasiun tv nasional. Potret ini adlah
contoh bagaimana stasiun televisi Jakarta bersiaran nasional melulu tidak
menghadirkan informasi yang tidak relevan dan tidak kontekstual bagi warga di
luar Jakarta, lantas bagai mana produk jurnalistik di televisi nasional, kita
dapt melihat informasi yang ada di layar kaca seperti kemacetan di sudirman,
korupsi pejabat Jakarta, atau pembukan jalur baru trans Jakarta, apa makna
berita berita tersebut bagi warga yang berpendudukan jauh diluar dari ibu kota
Jakarta.
Penelitian
REMOTIVI dan FIKOM UNPAD menunjukkan, siaran di sepuluh stasiun televisi
Jakarta bersiaran nasional 48% sumber beritanya berasal dari JABODETABEK, 7%
merupakan berita internasional, dan sisa 38% sumber berita berasal dari luar
JABODETABEK yang harus berbagi dengan 33 provinsi lain di luar JABODETABEK.
Artinya setiap provinsi hanya mendapat ruang pemberitaan sebesar 1,15%, ini
yang memperlihatkan separuh pemberitaan di televisi nasional hanya mengangkat
persoalan di dan dari JABODETABEK. Meskipun memang berita asal dari JABODETABEK
bisa berguna bagi publik di daerah lain selama berita tersebut mencakup
kepentingan publik nasional misalnya, kebijakan pendidikan nasional, kenaikan
harga BBM, pemilihan presiden, pergantian kabinet, dan lain-lain. Karena itu
nilai sebuah berita juga perlu di ukur dari sebuah cakupan atau pun dimensinya.
Temuan
REMOTIVI, 36% berita berdimensi nasional, 55% berita berdimensi lokal, 9%
berita berdimensi internasional, meskipun berita berdimensi lokal mendapatkan
angka presentasi yang tinggi tapi sebagian berita tersebut berasal dari
JABODETABEK yaitu sebesar 38% , di susul dengan Jawa Timur 12%, dan Jawa Barat
9%, tidak termasuk Bogor Depok dan Bekasi, Jawa Tengan 5%, dan Sulawasi Selatan
6%. Pada berita berdimensi nasional JABODETABEK juga mendapatkan porsi
pemberitaan sebesar 73% di susul Jawa Timur 3%, Jawa Barat 2%, Jawa Tengah 2%, dan
Sulawesi selatan 1%, ini artinya hanya JABODETABEK yang punya potensi lebih
untuk menjadi berita nasional. Stasiun televisi nasional gagal menyuguhkan
informasi yang relevan bagi penontonya yang beragam, berita televisi kehilangan
fungsinya karena hanya menghasilkan informasi yang tersirkulasi di Jakarta dan
sekitarnya situasi ini terang mengancam demokrasi, ancaman ini datang dari
sistem penyiaran yang tersentralisasi, semua televisi bersiaran nasional
berdomisili di Jakarta, dari Jakarta mereka dapat langsung bersiaran ke seluruh
Indonesia. Padahal undang undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 telah melarang
televisi bersiaran nasional, untuk bisa tertangkap di daerah siaran televisi
nasional harus melalui stasiun televisi lokal, inilah yang dinamakn sistem
stasiun jaringan (SSJ). Dengan sistem stasiun jaringan televisi lokal punya
kesempatan berkompetisi secara adil dengan sepuluh stasiun televisi nasional
saat ini, dengan begitu televisi lokal bisa tumbuh dengan sehat sehingga konten
dan prespektif lokal bisa dengan sendirinya tumbuh. Sayangnya undang-undang
penyiaran nomor 32 ahun 2002 belum juga di tegakkan, pemerintah gagal membangun
industri televisi swasta untuk mematuhi undang undang. Indonesia buakn hanya
Jakarta, republik ini terlalu besar untuk di rangkum hanya oleh Jakarta, di luar
Jakarta masih ada masyarakat yang punya persoalan yang membutuhkan peran media
dan memiliki hak atas informasi yang berguna, tapi stasiun televisi nasional
tidak mampu menyediakannya sebab sentralisasi tidak memungkinkan.
Dalam
situasi seperti ini negara ditantang untuk mengambil sikap berpihak kepada
publik, atau stasiun televisi jakarta ber siaran nasional.
Dalam
kasus ini televisi nasional harusnya dapat bekerja sama dengan stasiun televisi
lokal dalam menyiarkan informasi untuk di sajikan kepada masyarakat seluruh
Indonesia agar sistem stasiun jaringan dapat berkembang sesuai dengan undang
undang nomor 32 tahun 2002, sehingga dapat mensejahtera kan putaran ekonomi
dengan pembagian hasil keuntungan dari iklan yang mendanai stasiun televisi
lokal tetap hidup.
yang
sangat disayangkan juga tayangan televisi juga tidak berimbang dengan adanya
tampilan iklan yang durasinya bisa terhitung lebih panjang dari pada tayangan
utamanya, dan sering juga bisa kita temui iklan iklan tersebut masuk ke dalam
tayangan program acara sebagai sponsor utama dan menampilkan atribut sampai
animasi 3D selama program acara berjalan. Belum lagi iklan yang seharusnya
tidak di tampilkan pada jamnya, seperti iklan beasiswa dari Djarum, Sampoerna,
dan sejenisnya yang mengalihkannya menjadi iklan yang dapat dilihat semua umur
di setiap jam, padahal secara tidak langsung ia mempromosikan Brand perusahaan dengan nama yang memang
sudah tidak asing lagi yang produknya rokok.
Beberapa
program acara yang juga harus di kritiki adalah dengan mendatangkan seorang
publik figur yang pemberitaannya tidak bagus kemudian di interview hingga hal
hal pribadinya, di sini secara tidak langsung cerita dari orang tersebut menjadi
konsumsi publik yang sebenarnya tidak bermanfaat bagi pemirsa nya.
Dalam
kasus ini, REMOTIVI ingin mengedukasi dan membantu masyarakat agar dapat
ber interaksi lebih dekat dengan KPI, ini karena REMOTIVI tahu kalau tayangan di
televisi bisa di kendalikan oleh pemirsa dengan melaporkannya langsung dengan
sebuah aplikasi yang mereka bentuk untuk di gunakan agar masyarakat bisa
menikmati program acara yang lebih relevan.
Menurut
REMOTIVI, kebanyakan industri TV di Indonesia hari ini gagal memenuhi hak warga
untuk mendapatkan tayangan TV yang sehat, benar, dan bermanfaat. Atas nama
rupiah, stasiun TV terbiasa menyiarkan tayangan dengan muatan kekerasan,
menjadikan perempuan objek seks, melecekan kelompok tertentu (penyandang
difabislitas, profesi tertentu, masyarakat adat), atau yang tidak relevan
dengan kebutuhan warga, seperti kabar perceraian atau persalinan pesohor.
Berita pun sudah di produksi seturut kepentingan pemilik media, sehingga berita
bohong , fitnah, dan tidak berimbang kerap menjadi suguhan yang disajikan TV.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga yang dibiayai dari pajak warga
untuk mengawasi industru penyiaran. Sayangnya, selain kurang dikenal atau di
manfaatkan publik, kinerjanya juga belum maksimal.
RAPOTIVI
hadir untuk menjebatani publik dengan KPI, agar lembaga ini bekerja lebih
ceoat, responsif, dan prograsif dengan mengupayakan.
1.
Mengawal proses aduan yang selama ini tak terkawal, mulai dari aduan
terverikasi dikirim ke KPI hingga tindak lanjut KPI terhadap aduan tersebut.
2.
Mempublikasikan aduan warga secara masif agar dapat menjadi sanksi sosial bagi
industri televisi. Sebab, selama ini keluhan warga terkait tayanganTV selain
tak terpusat dan terprogram, juga banyak yang taj diketahui.
3.
Menjadi peringatan bagi pengiklan untuk tidak memasan iklan pada tayangan tak
sehat.

0 komentar:
Posting Komentar