Selasa, 09 Mei 2017

APLIKASI RAPOTIVI SEBAGAI JEMBATAN PENGHUBUNG MASYARAKAT KEPADA KPI




 https://pbs.twimg.com/media/CLNcG4BUEAAajej.jpg




Media massa punya kode etik dan prinsip jurnalistik dalam kerjanya memproduksi berita, namun meski secara teknis aturan tersebut di patuhi bukan berarti informasi yang di sajikan media bisa di percaya begitu saja sebab ada strategu lain yang di lancarkan media untuk menggiring opini pembaca, pendengar atau pemirsa yakni melalui teknik pembingkaian atau framing. framing adalah cara media mengemas sebuah informasi atas peristiwa yang terjadi. Framing, tidak berbohong tapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus, melalui penyelesaian informasi penonjolan aspek tertentu pemilihan kata, bunyi, atau gambar hingga meniadakan informasi yang seharusnya di sampaikan. Framing bertujuan membingkai informasi agar terciptanya citra, kesan atau makna tertentu yang diinginkan oleh media.
Secara umum ada beberapa metode framing yang di lakukan oleh media.
1. COVER BOTH SIDES (tapi porsi bicara tidak berimbang atau tidak tepat)
            Media massa punya kode etik atau kaidah jurnalistik, slah satunya perinsip keseimbangan atau COVER BOTH SIDES,  yang artinya bila satu pihak di beri ruang maka pihak yang lain hrus di beri ruang juga tapi kesempatan itu sendiri tak harus sama. Bila pembicara di berikan ruang bicara A dalam waktu satu menit, bukan berarti jatah bicara si B atau si C juga di beri waktu satu menit, yang penting apakah informasi atau pun pendapat dari oihak sudah cukup di beri ruang secara proposional dan substansinya sudah tersampaikan.
Meski cover both sides  sudah di terapkan, media terkadang melakukan framing terhadap salah satu pihak dengan cara mengutip pendapat hanya ala kadarnya atau sengaja mengutip bagian yang tidak menjawab persoalan, bahkan mengutip bagian penjelasan yang terlihat konyol, sekedar di jadikan olok olok agar dia terlihat semakain bersalah.
Secara formal kode etik memang di taati, tapi isinya di kemas sedemikian rupa umtuk meninggalkan kesan yang merugikan salah satu pihak.
2. BERITA SESUAI FAKTA, MENGGUNAKAN SUDUT PANDANG TERTENTU
            Ini adalah cara lain media melakukan framing. Melalui tehnik ini, fakta yang ada di pilih dan di pilah oleh media untuk membentuk kesan tertentu. Misalnya berita mengenai calon Presiden A yang menang di TPS yang berada di penjara khusus koruptor atau berita calon presiden B yang menang di TPS tempat prostitusi, berita tersebut bisa jadi tidak bohong, tapi media sedang melakukan framing dengan tujuan membentuk presepsi atau kesan tertentu mengenai seseorang yang sedang di beritakan.
Contoh framing lain bisa di lihat pada berita tentang demo buruh yang hanya di tulis mengenai sampah sisa demo atau tuntutan liburan ke Bali sedangkan isi tuntutan kerap kali tak terliput, lewat berita seperti ini media sedang melakukan framing bahwa tuntuntan buruh mengada-ada.
3. PENGGUNAKAN KATA SIFAT BERNADA POSITIV ATAU BERNADA NEGATIV
            Media tidak mendeskripsikan sebuah peristiwa atau perilaku seseorang, tapi menilainya. Penilaian ini di lakuakn oleh redaksi, bukan mengutip pendapat seseorang. Caranya adlh dengan memakai kata sifat seperti tegas, ragu-ragu, lembek, jujur dan sebagainya. Misalnya "alih-alih mengatakan walikota X menolak izin pendirian mall baru"  media malah memberitakan "walikota X adalah orang yang tegas".
Contoh lain framing dengan menggunakan kata sifat misalnya, "pejabat itu jujur, pengusaha itu culas" . Kata sifat tidak memiliki ukuran yang bisa di terima semua orang, penggunaannya cenderung subyektif dari media ataupun dari wartawa, idealnya yang di perlukan adalah pembuktian, mendeskripsinkan kejujuran, atau keculasan seseorang melalui peristiwa yang ada, testimoni orang, data, atau prestasi kerjanya.
4. MENEYELEKSI GAMBAR DAN MENYEMATKAN MUSIK
            dengan gambar dan musik tertentu, seseorang bisa terkesan galak, lugu, bodoh, berani, dan sbagainya. Misalnya dalam sebuah pilkada berita sebuah calon gubernur A selalu ketia ia sedang bekerja memimpin rapat atau menggendong anak kecil di tambah dengan ilustrasi musik yang damai, tapi untuk berita mengenai calon gubernur B gambar yang di pilih adalah ketika ia salah bicara, joget-joget dalam pesta, atau selalu di atas mobil mewah.
Seperti contoh sebelumnya, berita ini tidak bohong tapi sedang menyeleksi informasi untuk membentuk presepsi penonton, pembaca, atau pendengar.



Tayangan adzan Maghrib di Jakarta yang di tayangkan oleh televisi Jakarta dan di siarkan ke seluruh Indonesia, tak perduli sudah adzan atau belum di kota kota lain, apakah umat muslim di bagian Indonesia bagian timur dan bagian tengah tak berhak mendapatakan layanan yang serupa dari stasiun tv nasional. Potret ini adlah contoh bagaimana stasiun televisi Jakarta bersiaran nasional melulu tidak menghadirkan informasi yang tidak relevan dan tidak kontekstual bagi warga di luar Jakarta, lantas bagai mana produk jurnalistik di televisi nasional, kita dapt melihat informasi yang ada di layar kaca seperti kemacetan di sudirman, korupsi pejabat Jakarta, atau pembukan jalur baru trans Jakarta, apa makna berita berita tersebut bagi warga yang berpendudukan jauh diluar dari ibu kota Jakarta.
Penelitian REMOTIVI dan FIKOM UNPAD menunjukkan, siaran di sepuluh stasiun televisi Jakarta bersiaran nasional 48% sumber beritanya berasal dari JABODETABEK, 7% merupakan berita internasional, dan sisa 38% sumber berita berasal dari luar JABODETABEK yang harus berbagi dengan 33 provinsi lain di luar JABODETABEK. Artinya setiap provinsi hanya mendapat ruang pemberitaan sebesar 1,15%, ini yang memperlihatkan separuh pemberitaan di televisi nasional hanya mengangkat persoalan di dan dari JABODETABEK. Meskipun memang berita asal dari JABODETABEK bisa berguna bagi publik di daerah lain selama berita tersebut mencakup kepentingan publik nasional misalnya, kebijakan pendidikan nasional, kenaikan harga BBM, pemilihan presiden, pergantian kabinet, dan lain-lain. Karena itu nilai sebuah berita juga perlu di ukur dari sebuah cakupan atau pun dimensinya.
Temuan REMOTIVI, 36% berita berdimensi nasional, 55% berita berdimensi lokal, 9% berita berdimensi internasional, meskipun berita berdimensi lokal mendapatkan angka presentasi yang tinggi tapi sebagian berita tersebut berasal dari JABODETABEK yaitu sebesar 38% , di susul dengan Jawa Timur 12%, dan Jawa Barat 9%, tidak termasuk Bogor Depok dan Bekasi, Jawa Tengan 5%, dan Sulawasi Selatan 6%. Pada berita berdimensi nasional JABODETABEK juga mendapatkan porsi pemberitaan sebesar 73% di susul Jawa Timur 3%, Jawa Barat 2%, Jawa Tengah 2%, dan Sulawesi selatan 1%, ini artinya hanya JABODETABEK yang punya potensi lebih untuk menjadi berita nasional. Stasiun televisi nasional gagal menyuguhkan informasi yang relevan bagi penontonya yang beragam, berita televisi kehilangan fungsinya karena hanya menghasilkan informasi yang tersirkulasi di Jakarta dan sekitarnya situasi ini terang mengancam demokrasi, ancaman ini datang dari sistem penyiaran yang tersentralisasi, semua televisi bersiaran nasional berdomisili di Jakarta, dari Jakarta mereka dapat langsung bersiaran ke seluruh Indonesia. Padahal undang undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 telah melarang televisi bersiaran nasional, untuk bisa tertangkap di daerah siaran televisi nasional harus melalui stasiun televisi lokal, inilah yang dinamakn sistem stasiun jaringan (SSJ). Dengan sistem stasiun jaringan televisi lokal punya kesempatan berkompetisi secara adil dengan sepuluh stasiun televisi nasional saat ini, dengan begitu televisi lokal bisa tumbuh dengan sehat sehingga konten dan prespektif lokal bisa dengan sendirinya tumbuh. Sayangnya undang-undang penyiaran nomor 32 ahun 2002 belum juga di tegakkan, pemerintah gagal membangun industri televisi swasta untuk mematuhi undang undang. Indonesia buakn hanya Jakarta, republik ini terlalu besar untuk di rangkum hanya oleh Jakarta, di luar Jakarta masih ada masyarakat yang punya persoalan yang membutuhkan peran media dan memiliki hak atas informasi yang berguna, tapi stasiun televisi nasional tidak mampu menyediakannya sebab sentralisasi tidak memungkinkan.
Dalam situasi seperti ini negara ditantang untuk mengambil sikap berpihak kepada publik, atau stasiun televisi jakarta ber siaran nasional.



Dalam kasus ini televisi nasional harusnya dapat bekerja sama dengan stasiun televisi lokal dalam menyiarkan informasi untuk di sajikan kepada masyarakat seluruh Indonesia agar sistem stasiun jaringan dapat berkembang sesuai dengan undang undang nomor 32 tahun 2002, sehingga dapat mensejahtera kan putaran ekonomi dengan pembagian hasil keuntungan dari iklan yang mendanai stasiun televisi lokal tetap hidup.
yang sangat disayangkan juga tayangan televisi juga tidak berimbang dengan adanya tampilan iklan yang durasinya bisa terhitung lebih panjang dari pada tayangan utamanya, dan sering juga bisa kita temui iklan iklan tersebut masuk ke dalam tayangan program acara sebagai sponsor utama dan menampilkan atribut sampai animasi 3D selama program acara berjalan. Belum lagi iklan yang seharusnya tidak di tampilkan pada jamnya, seperti iklan beasiswa dari Djarum, Sampoerna, dan sejenisnya yang mengalihkannya menjadi iklan yang dapat dilihat semua umur di setiap jam, padahal secara tidak langsung ia mempromosikan Brand perusahaan dengan nama yang memang sudah tidak asing lagi yang produknya rokok.
Beberapa program acara yang juga harus di kritiki adalah dengan mendatangkan seorang publik figur yang pemberitaannya tidak bagus kemudian di interview hingga hal hal pribadinya, di sini secara tidak langsung cerita dari orang tersebut menjadi konsumsi publik yang sebenarnya tidak bermanfaat bagi pemirsa nya.
Dalam kasus ini, REMOTIVI ingin mengedukasi dan membantu masyarakat agar dapat ber interaksi lebih dekat dengan KPI, ini karena REMOTIVI tahu kalau tayangan di televisi bisa di kendalikan oleh pemirsa dengan melaporkannya langsung dengan sebuah aplikasi yang mereka bentuk untuk di gunakan agar masyarakat bisa menikmati program acara yang lebih relevan.
Menurut REMOTIVI, kebanyakan industri TV di Indonesia hari ini gagal memenuhi hak warga untuk mendapatkan tayangan TV yang sehat, benar, dan bermanfaat. Atas nama rupiah, stasiun TV terbiasa menyiarkan tayangan dengan muatan kekerasan, menjadikan perempuan objek seks, melecekan kelompok tertentu (penyandang difabislitas, profesi tertentu, masyarakat adat), atau yang tidak relevan dengan kebutuhan warga, seperti kabar perceraian atau persalinan pesohor. Berita pun sudah di produksi seturut kepentingan pemilik media, sehingga berita bohong , fitnah, dan tidak berimbang kerap menjadi suguhan yang disajikan TV. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga yang dibiayai dari pajak warga untuk mengawasi industru penyiaran. Sayangnya, selain kurang dikenal atau di manfaatkan publik, kinerjanya juga belum maksimal.
RAPOTIVI hadir untuk menjebatani publik dengan KPI, agar lembaga ini bekerja lebih ceoat, responsif, dan prograsif dengan mengupayakan.
1. Mengawal proses aduan yang selama ini tak terkawal, mulai dari aduan terverikasi dikirim ke KPI hingga tindak lanjut KPI terhadap aduan tersebut.
2. Mempublikasikan aduan warga secara masif agar dapat menjadi sanksi sosial bagi industri televisi. Sebab, selama ini keluhan warga terkait tayanganTV selain tak terpusat dan terprogram, juga banyak yang taj diketahui.
3. Menjadi peringatan bagi pengiklan untuk tidak memasan iklan pada tayangan tak sehat.


0 komentar:

Posting Komentar